IMF Melaporkan Utang Global Cetak Rekor Tertinggi Mencapai 226 Triliun USD

Jakarta - Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) melaporkan utang global selama tahun lalu mencapai rekor tertinggi, yakni USD 226 triliun.

Rasio utang dari seluruh negara ini mencapai 256 persen dari produk domestik bruto (PDB) international.

"Pada tahun 2020, kami mengamati lonjakan utang terbesar sejak Perang Dunia II, dengan utang international meningkat menjadi USD 226 triliun, karena dunia dilanda krisis kesehatan global dan resesi yang dalam," ujar Peneliti IMF, Virat Singh, Andrew Womer, dan Yuan Xiang dalam keterangan yang diterima kumparan, Kamis (16/12).

Berdasarkan jenisnya, utang pemerintah secara global melesat 99 persen PDB di tahun lalu. Sementara utang swasta dari perusahaan non-keuangan dan rumah tangga juga mencapai titik tertingginya.

Peningkatan utang global utamanya didorong oleh tingginya utang di negara-negara maju.

Rasio utang pemerintah di negara-negara maju naik dari 70 persen terhadap PDB di 2007 menjadi 124 persen terhadap PDB di 2020.

Di sisi lain, rasio utang swasta di negara maju naik pada kecepatan yang lebih moderat, dari 164 persen PDB di 2007 menjadi 178 persen dari PDB di tahun lalu.

IMF menyoroti kesenjangan utang antarnegara. Di negara-negara maju dan China menyumbang lebih dari 90 persen dari lonjakan utang atau USD 28 triliun pada tahun 2020.

Negara-negara ini dinilai mampu memperluas utang pemerintah dan swasta selama pandemi berkat suku bunga rendah, tindakan financial institution sentral (termasuk pembelian besar-besaran pemerintah utang), dan pasar keuangan yang berkembang dengan baik.

"Tetapi sebagian besar negara berkembang justru sebaliknya, mendapat kesenjangan pembiayaan, menghadapi akses terbatas ke pendanaan, dan memiliki tingkat pinjaman yang lebih tinggi," tulisnya.

Menurut IMF, negara berpenghasilan menengah ke atas dan rendah menghadapi kendala pembiayaan yang lebih ketat.

Negara-negara ini hanya menyumbang sebagian kecil dari kenaikan utang international, yakni sekitar USD 1-- 1,2 triliun.

Meski demikian, negara-negara berpenghasilan menengah harus menghadapi tantangan tingginya utang pemerintah.

Sementara di negara berpenghasilan rendah, kenaikan utangnya justru sangat kecil. Hal ini karena negara berpenghasilan rendah tersebut menerima manfaat dan kebijakan pengurangan utang.

Untuk mengatasi kerentanan utang, pemerintah dan financial institution sentral diminta untuk terus melakukan kebijakan campuran dan saling melengkapi antara fiskal dan moneter.

"Pembuat kebijakan harus mencapai keseimbangan yang tepat dalam menghadapi utang yang tinggi dan inflasi yang meningkat," tulisnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Efek Pandemi Omicron Pertumbuhan Ekonomi Kuartal 1 2022 Diprediksikan Dibawah 4 Persen

Menteri BUMN Berharap Kehadiran BSI di Dubai Bisa Menarik Investor Global Masuk ke Indonesia